.Panduan PC

PANDUAN PROFITCLICKING

Raih Kesuksesan Keuangan Anda Bergabung Bersama Kami

Minggu, 09 September 2012

Musyarakah (Syirkah) *Ekonomi Islam --- NO SARA

PEMBAHASAN
  1. PENGERTIAN
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan dan porsi kontribusi dana[1].
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat[2]. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih fasih (afshah), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya[3]. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan[4].

Landasan hukum syirkah terdapat dalam Al Quran surat 38 ayat 34 yang artinya adalah “ Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian dari mereka itu berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini.” Dan dalam sabda Rasulullah yang artinya “ Aku ini ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati temannya. Apabila salah seorang telah berkhianat terhadap temannya, aku keluar dari antara mereka.”

Menurut pasal 1618 KUHPer, Perseroan (maatschap) adalah suatu persetujuan dengan nama dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.
Sesuatu itu dapat berupa barang-barang atau uang atau menyediakan kekuatan kerja/kerajinannya (tenaga kerja), hal ini dapat dilihat pada pasal 1619 KUHper. Maatschap berbeda dengan bentuk perusahaan lainnya karena sifatnya yang tidak nyata keluar dan tidak terlihat oleh umum.
Dalam hukum islam persekutuan dinamakan dengan nama syirkah yang berarti ikhtilath (percampuran), yakni bercampurnya satu harta dengan harta yang lain, sehingga tidak bisa dibedakan antara keduannya. Adapun secara terminology, pada dasarnya definisi yang diberikan oleh para ulama’ fiqih berbeda secara redaksional sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya sama, yaitu ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.k
Sementara dalam  terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).
  1. MACAM-MACAM SYIRKAH
Menurut Hanafiyah, secara garis besar syirkah dibagi dua bagian, yaitu syirkah milik dan syirkah ‘uqud. Syirkah milk juga dibagi dua macam: syirkah milk jabar dan syirkah milk ikhtiyar. Syirkah ‘uqud dibagi menjadi tiga macam: syirkah ‘uqud al-amal, syirkah ‘uqlud bi al-abdan, dan syirkah ‘uqud bi al-wujud. Syirkah ‘uqud bi al-amal dibagi menjadi dua macam:syirkah-syirkah ‘uqud bi al-amal mufawadhah dan syirkah ‘uqud bi al-mal inan. Syirkah ‘uqud bi al-abdan dibagi dua: syirkah ‘uqud bi al-abdan mufawadhah dan syirkah ‘uqud bi al-abdan inan. Syirkah ‘uqud bi al-wujud dibagi menjadi dua bagian: syirkah ‘uqud bi al-wujud mufawadhah dan syrikah ‘uqud bi al-wujud inan.
Syirkah ada dua macam:
Pertama Syirkah Hak Milik (Syirkatul Amlak)
Yaitu per-sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan
Kedua Syirkah Transaksional (Syirkatul uqud)
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah inân; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.

  1. Syirkah ‘Inan adalah
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

  1. Syirkah Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35).

  1. Syirkah Wujuh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).

  1. Syirkah Mudharabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong)

  1. Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).

  1. HUKUM SYIRKAH
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aba Manhal pernah mengatakan , “Aku dan rekan kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan hutang.” Lalu kami didatangi oleh Al Barra’bin azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab, “ Aku dan rekan kongsiku, Zaiq bin Arqam, telah mengadakan perkongsian. Kemudian kami bertanya kepada Nabi Saw. tentang tindakan kami. Baginda menjawab: “barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silalah kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) secara hutang, silalah kalian bayar”.
Hukum melakukan syirkah dengan kafir zimmi juga adalah mubah. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan: “Rasulullah saw pernah mempekerjakan penduduk khaibar (penduduk Yahudi) dengan mendapat bagian dari hasil tuaian buah dan tanaman”.

  1. Syirkah Inan
Syirkah semacam ini dibolehkan berdasarkan ijma”. Kalau-pun ada perbedaan, hanya dalam beberapa bentuk rincian dan satuannya. Yang telah kami paparkan tentang disyariatkannya bentuk syirkah secara umum merupakan dalil disyariatknya Syir-katul “Inan ini secara khusus, karena ia termasuk dari jenis kerja sama yang disyariatkan

  1. Syirkah Abdan
Seperti kesepakatan para pemilik usaha dan kerajinan untuk menerima pekerjaan dan berserikat dalam hasilnya. Di antara contohnya misalnya kesepakatan beberapa orang tenaga medis untuk mendirikan poliklinik dan menerima perawatan orang-orang sakit. Masing-masing bekerja sesuai dengan spesialisasinya. Kemudian akhirnya mereka membagi keuntungan bersama. Atau kesepakatan sekelompok mekanik untuk mengerjakan satu pro-yek perbaikan mobil, masing-masing bekerja sesuai dengan ketrampilannya, baru kemudian mereka membagi keuntungan bersama.

  1. Syirkah Wujuh
Para ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya atau tidaknya kerja sama ini. Kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah membolehkannya secara mutlak. Kalangan Syafi”iyah dan Mali-kiyah melarang sebagian bentuk aplikatifnya, namun membo-lehkan sebagian bentuk lainnya.
Mereka membolehkan kalau kedua pihak tersebut berse-pakat membeli satu komoditi yang sama. Mereka melarang apabila masing-masing berhak terhadap apa yang dibeli oleh mitra bisnis kerja sama mereka dengan nama baiknya sendiri secara mutlak.

  1. Syirkah Mufawadhah

Para ulama kembali berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini: Kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hamba-liyah membolehkannya. Sedangkan Imam Syafi’i 5 mela-rangnya.
Alasan pendapat mayoritas ulama adalah sebagai berikut:
a.  Karena syirkah ini menggabungkan beberapa macam bentuk syirkah yang masing-masing dari
syirkah itu dibolehkan secara terpisah, maka demikian pula hukumnya bila dikombi-nasikan.
b.  Karena masyarakat di berbagai tempat dan masa telah terbiasa melakukan bentuk syirkah

semacam ini tanpa ada pula ulama yang menyalahkannya
Sementara alasan Imam Syafi’i melarangnya adalah sebagai berikut: Karena syirkah ini sebentuk perjanjian usaha yang me-ngandung penjaminan terhadap jenis hal yang tidak diketahui, dan juga jaminan terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Keduanya sama-sama rusak secara terpisah, apalagi bila digabungkan.
Dalil yang dikemukakan Imam Syafi”i ini dibantah bahwa hal yang tidak diketahui itu dimaafkan karena timbul sebagai konsekuensi. Sebuah aktivitas terkadang sah bila merupakan konsekuensi, tetapi tidak sah bila merupakan tujuan, seperti hal-nya syirkah “inan dan penanam modal. Masing-masing syirkah itu juga mengandung unsur penjaminan terhadap dalam pembelian sesuatu yang tidak diketahui, namun keduanya dibolehkan ber-dasarkan kesepakatan para ulama.

  1. RUKUN DAN SYARAT SYIRKAH
Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiah bahwa rukun ada dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab Kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Adapun yang lain seperti dua orang atu pihak yang berakad dan harta berada di luar pembahasan akad seperti terdahulu dalam akad jual beli.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiah dibagi menjadi empat bagian berikut ini.
(1)   Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan yang lain. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu a) yang berkenaan dengan benda yang di akadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b)yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepetiga dan lainnya.
(2)   Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhiyaitu a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyah, dan Rupiah, b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
(3)   Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan a) modal (pokok harta) dalam isyirkah mufawadhah harus sama, b) bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
(4)   Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah.
Pandangan Mazhab Fiqih tentang Syirkah Mazhab Hanafi berpandangan ada empat jenis syirkah yang syari’e iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah dan wujuh. ( Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu) Mazhab Maliki hanya 3 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan dan mudharabah. Menurut Mazhab Syafi’e, zahiriah dan Imamiah hanya 2 syirkah yang sah iaitu inan dan mudharabah. Mazhab Hanafi dan zaidiah berpandangan ada 5 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadha.
Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman al-jaziri bahawa rukun syirkah adalah dua orang (pihak) yang saling beserikat, shighat dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja. Syarat-syart syirkah oleh Idris Ahmad sebagai berikut:
  1. Mengeluarkan kata-kata yang menunjuakn izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
  2. Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah awkail yang lainnya.
  3. Mencampurkan harta sehingga tidak dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.

Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiah dibagi menjadi empat
Rukun syirkah adalah sebagai berikut:
a)      akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
b)      dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta
c)      obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).

  1. Syirkah Inan
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Untuk modal itu harus dalam bentuk riil, tidak merupakan hutang pada orang yang sedang kesulitan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan riba. Dan dalam pembagian kentungan disyaratkan seimbang atau boleh lebih besar disesuaikan dengan besar kecilnya modal yang ditaman oleh pihak yang melakukan syirkah.

  1. Syirkah Abdan
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan  haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
  1. Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh adalah kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh, katakanlah seorang menteri atau pedagang besar, yang dikenal tidak jujur atau suka memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, syirkah wujuh sah jika dilakukan oleh seorang yang biasa-biasa saja, tetapi para pedagang memercayainya, misalnya karena ia dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan
  1. Syirkah Mufawadhah
Kalangan Hambaliyah menetapkan syarat sahnya syirkah ini bahwa tidak boleh dimasukkan ke dalamnya berbagai hasil sam-pingan dan denda-denda. Kalau keduanya dimasukkan dalam perjanjian, syirkah itu batal, karena ada unsur manipulasi.
Sementara kalangan Hanafiyah memberikan syarat bagi sahnya syirkah ini sebagai berikut. Kesamaan modal, aktivitas adna keuntungan.
  1. Kesamaan modal, aktivitas dan keuntungan.
  2. Keumuman dalam syirkah Yakni diberlakukan dalam semua jenis jual beli
  3. Agar salah satu pihak yang terlibat tidak memiliki saham dalam syirkah lain, dan tidak juga ikut dalam perjanjian syirkah lain, karena hal itu menyebabkan ketidaksamaan
  4. Hendaknya dengan pelafalan mufawadhah. Karena mufa-wadhah mengandung banyak persyaratan yang hanya bisa diga-bungkan dalam pelafalan itu, atau dengan cara pengungkapan lain yang bisa mewakilinya. Namun jarang sekali masyarakat awam yang memahami hal itu
Demikianlah. Berkurangnya salah satu dari persyaratan ini menyebabkan syirkah ini berubah menjadi syirkah “inan menurut kalangan Hanafiyah. Karena syirkah ini memang sudah mengan-dung unsur syirkah “inan bahkan lebih dari itu. Batalnya syirkah mufawadhah, tidak berarti syirkah itu batal sebagai syirkah “inan, karena syirkah “inan tidak memerlukan syarat-syarat tersebut.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa kalangan Malikiyah dan Hambaliyah tidak menganggap kesamaan dalam modal dan keuntungan sebagai syarat syirkah ini. Mereka membolehkan adanya perbedaan dalam kedua hal itu, sebagaimana halnya Syir-katul “Inan.


  1. CARA MEMBAGI KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Dari macam-macam serikat tersebut, sebetulnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Seperti ulama S yafi’iyah berpendapat bahwa yang sah dilakukan hanyalah syirkah al-inan, sementara syirkah selain itu batal untuk dipalukan.
Cara membagi keuntungan dan kerugian tergantung besar dan kecilnya modal yang mereka
  1. Syirkah ‘inan
Sehubungan dengan keuntungan itu disyaratkan sebagai berikut:
  1. Harus diketahui jumlahnya. Kalau jumlahnya tidak dike-tahui, syirkah tersebut dianggap rusak, kecuali kalau terdapat kebiasaan setempat yang sudah merata yang membolehkan pem-bagian keuntungan dengan cara tertentu, hal itu boleh dilakukan.
  2. Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan prosen-tasi tertentu. Kalau berupa nilai uang tertentu saja, maka syirkah itu tidak sah. Karena ada kemungkinan bahwa aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu saja, sehingga tidak bisa dibuktikan syirkah dalam keuntungannya.
  3. Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama mitra usaha. Tidak disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai dengan jumlah modal. Karena keuntungan selain juga ditentukan oleh modal, juga ditentukan oleh usaha. Terkadang salah seorang di antara mereka memiliki keahlian yang lebih dari yang lain, se-hingga tidak rela bila disamaratakan keuntungan mereka. Itu adalah pen-dapat yang dipilih oleh Hanafiyah dan Hambaliyah
  4. Syirkah Abdan
Keuntungan dalam syirkah ini adalah berdasarkan kesepa-katan semua pihak yang beraliansi, dengan cara disamaratakan atau ada pihak yang dilebihkan. Karena usahalah yang berhak mendapatkan keuntungan. Sementara perbedaan usaha dalam syirkah ini dibolehkan. Maka juga dibolehkan juga adanya per-bedaan jumlah keuntungan.
Berdasarkan hal ini, kalau mereka pempersyaratkan usaha dibagi dua (1-1) dan keuntungannya 1-2, boleh-boleh saja. Karena modal itu adalah usaha dan keuntungan adalah modal. Usaha bisa dihargai dengan penilaian kualias, sehingga bisa diperkirakan harganya dengan prediksi kualitasnya, dan itu tidak diharamkan
  1. Syirkah Wujuh
Pembagian keuntungannya sama dengan syirkah lainnya.
  1. Syirkah Wafadhah
Para ulama Ahli Fiqih telah bersepakat bahwa kerugian dalam Syirkah Mufawadhah dan dalam seluruh jenis syirkah lainnya harus diukur dengan jumlah modal. Artinya, kerugian itu dibagi-bagikan untuk ditanggung bersama sesuai dengan prosentasi modal yang tergabung dalam syirkah.
  1.  Kalangan Hambaliyah membolehkan keuntungan itu dibagikan sesuai dengan persyaratan. Mereka tidak membedakan antara syirkah komprehensif dengan yang lainnya.
  2. Kalangan Malikiyah mempersyaratkan agar keuntungan disesuaikan dengan jumlah modal.
  3. Sementara kalangan Hanafiyah mengharuskan keuntungan dalam Syirkatul Mufawadhah untuk disamaratakan, berdasarkan alasan yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa modal, keun-tungan dan yang lainnya adalah rambu-rambu paling mendasar, dalam syirkah ini dan juga dalam syirkah-syirkah lain, menurut mereka. Telah pula dijelaskan sebelumnya bahwa pendapat yang terpilih adalah bahwa keuntungan itu bisa saja berdasarkan persyaratan. Karena usaha itu adalah salah satu sebab memper-oleh keuntungan. Ukurannya bisa berbeda-beda, sehingga harus diukur

  1. MENGAKHIRI SYIRKAH/HAL-HAL YANG MEMBATALKAN
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
  1. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuanpihak yang lain sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
  2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf (kehilangan mengelola harta), baik karena gila maupun alasan lainnya.
  3. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah anggota yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
  4. Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampunan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
  5. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibattidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
  6. Modal para anggota lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap apabila terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi setelah dibelanjakan, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
Jika di uraikan berdasarakan macam-macam syirkah maka hal-hal yang mengakhiri atau membatalakan syirkah adalah sebagai berikut:
Asal daripada syirkah  ini adalah bentuk kerja sama usaha yang dibolehkan (bukan lazim). Masing-masing daripada pihak yang bersekutu boleh membatalkan perjanjian kapan saja dia kehendaki. Namun kalangan Malikiyah berbeda pendapat dalam hal itu. Mereka menyatakan bahwa kerja sama itu terlaksana dengan semata-mata adanya perjanjian. Kalau salah seorang ingin memberhentikan kerja sama tersebut, tidak begitu saja dapat dipenuhi. Dan bila ia ingin mengambil kembali hartanya maka hal itu harus diputuskan oleh hakim. Kalau hakim melihat sudah selayaknya dijual sahamnya, segera dijual. Bila tidak, maka ditunggu saat yang tepat untuk menjualnya.
Pendapat yang benar menurut kami adalah syirkah itu terlaksana dengan berjalannya usaha, dan itu terus berlangsung hingga modalnya selesai diputar. Yakni setelah modal tersebut diputar dan kembali menjadi uang kontan. Agar dapat mencegah bahaya terhadap pihak lain atas terjadinya keputusan mendadak setelah usaha baru dimulai.
Dan satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa dasar dari syirkah ini menurut para ulama fiqih adalah penjaminan dan amanah. Masing-masing dari pihak yang beraliansi menjadi pen-jamin atau wakil, sekaligus yang mewakilkan kepada yang lain. Ia dapat beroperasi dalam apa yang menjadi haknya menurut hukum asal, dan juga dalam apa yang menjadi hak pihak lain dengan status sebagai wakil. Sementara sudah dimaklumi bahwa wikalah atau penjaminan adalah perjanjian yang juga dibolehkan ber-dasarkan kesepakatan ulama. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh memaksa pihak lain untuk menuruti apa yang menjadi kei-nginannya di bawah intimidasi. Demikian juga hukum asal dari sistem syirkah ini, karena syirkah ini juga harus menggunakan penjaminan agar bisa berjalan, dan juga membutuhkan spon-sorship agar bisa bertahan. Wikalah atau penjaminan menjadi syarat dalam sistem perniagaan ini, untuk memulainya dan agar tetap bertahan. Kalau penjaminan itu terputus dengan pemba-talan dari salah satu pihak, maka hak-hak kepemilikan bagi masing-masing pihak untuk mengoperasikan modal pihak lain juga hilang.
Inilah hukum asalnya. Dan itulah yang menjadi konsekuensi dari berbagai kaidah umum yang kalangan Malikiyah sendiri juga tidak membantahnya, sehingga pendapat mereka yang menya-takan bahwa syirkah itu berlangsung hanya dengan sekedar adanya transaksi saja menjadi perlu dicermati dan dipertanyakan.
Hanya saja terkadang kita mendapatkan di hadapan kita berbagai pelajaran praktis yang mendorong kita untuk kembali meneliti persoalan ini, dan memberikan pertimbangan dan sudut pandang terhadap pendapat Malikiyah. Dimisalkan syirkah itu telah dimulai. Masing-masing anggotanya telah mulai mempersiap-kan dan mengatur segala sesuatunya. Modal telah mulai dilun-curkan untuk membeli berbagai bahan dan kebutuhan dagang. Dan pada umumnya, untuk memulai usaha itu membutuhkan kerja keras, banyak tanggungan dan biaya yang besar sekali. Tiba-tiba salah seorang pihak yang bekerja sama secara mengejutkan menganggap bahwa pasangannya itu dengan menghanguskan modal dalam sekejap dan menuntut untuk berhenti dalam usaha tersebut dan meminta ganti rugi serta menerima kembali mo-dalnya dan mengundurkan diri dari syirkah. Dan perbuatannya itu bagi pasangannya bisnisnya adalah tindakan yang melumpuhkan bahkan menghancurkannya.
Syirkah usaha ini berakhir dengan berakhirnya kerjasama dengan berdasarkan kriterianya secara umum, misalnya dengan pembatalan oleh salah satu transaktor, atau kematian salah satu dari pihak yang bekerja sama, atau karena gila, karena sudah ter-cekal akibat bangkrut terlilit hutang, karena idiot dan sejenisnya.
Dengan kenyataan itu, maka tidaklah logis apa yang dinyatakan oleh kalangan Malikiyah untuk diterapkan di sini yaitu bahwa dalam usaha dengan sistem penanaman modal, ben-tuk usaha ini berlangsung dengan mulainya usaha. Karena syirkah usaha ini berkaitan erat dengan pribadi para pelaku, sehingga tanpa kehadirannya, tidak bisa dibayangkan bagaimana kerja sama ini bisa berjalan.